Minggu, 29 Juli 2007

Tantangan Legacy Airline Amat Berat

PT Dirut Merpati Hotasi Nababan (Bagian 1 dari 2 Tulisan) :

Kepak sayap PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) terseok-seok dalam lima tahun terakhir. Puncak kejayaan pada 2002 seakan runtuh memasuki 2004 hingga semester I 2007. Kerugian demi kerugian harus ditelan oleh maskapai penerbangan milik pemerintah itu. Tahun 2004, Merpati bahkan sempat merugi Rp 160,39 miliar. Kerugian yang sangat mencolok dibandingkan dua tahun sebelumnya yang sempat membukukan laba Rp 197,03 miliar. Saat menduduki kursi direktur utama Merpati pada lima tahun lalu, onggokan problem langsung menggelayuti pundak Hotasi Nababan . ”Tapi, sampai sekarang Merpati tetap hidup walau banyak airline dunia tutup,” ujar dirut Merpati itu dengan wajah berbinar-binar, saat menerima wartawan Investor Daily, Primus Dorimulu, Edo Rusyanto, dan Purwantoro bersama pewarta foto Heri Gagarin, akhir pekan lalu, di ruang kerjanya.
Berikut ini petikan wawancara.
======================


Bagaimana Anda menghadapi dan mengatasi situasi sulit di Merpati?
Di Merpati itu ada dua handicap. Pertama, Merpati sebagai legacy airlanes (maskapai penerbangan lama). Kedua, Merpati sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Banyak legacy airlines di berbagai negara yang terpaksa ambruk. Di Amerika Pan Am, Pacific Western Airlines (PWA), America Airline, Capture Eleven, Delta, dan Air Italia sebentar lagi. Kemudian KLM akan dibeli Air France, Swiss Air tutup pada 2002-2003. Artinya, fenomena legacy airlines seluruh dunia berada dalam kondisi parah. Sejak peristiwa September Eleven, pengeboman gedung World Trade Centre (WTC) di New York, AS, 11 September 2001 ( 9/11), masalah legacy airline itu ada dua yakni utang yang berlebihan, dan kelebihan karyawan (over staff).
Jadi, sejak September Eleven, kinerja legacy airline terus menurun . Kalau legacy airlines di Eropa saja ambruk, bagaimana Merpati? Karena itu, dengan bertahannya Merpati, ini suatu kehebatan.
Airline baru lebih mampu bersaing karena cost lebih rendah. Namun, persaingan bisnis kian ketat kala harga bahan bakar (fuel) naik . Perang Irak tahun 2004 membuat harga fuel membumbung.
Handicapt kedua, kami itu sebagai BUMN. Tidak hanya Merpati, semua BUMN, misalnya, Angkasa Pura, punya dua masalah besar yakni over staff dan keterbatasan modal (lack of capital). Jadi, walau keuntungan besar, dividen juga besar, jadi untuk re-invest kalah dengan perusahaan swasta.

Semestinya bagaimana?
Idealnya BUMN direkap, baik penambahan modal dari pemerintah ataupun privatisasi. Tidak ada pilihan lain. Sejak 2002, saya harap Merpati diberi tambahan modal . Tapi, tahun 2004 penambahan modal ditunda karena pergantian pemerintah. Akibatnya, Merpati kena hit. Namun, sampai sekarang Merpati tetap hidup walau banyak airline di dunia tutup. Tentu saja juga karena ada bantuan dari pemerintah.

Apa bentuknya?
Pada 2007 pemerintah membantu dana sebesar Rp 450 miliar untuk tiga program yaitu restrukturisasi SDM, restrukturisasi armada, dan restrukturisasi utang. Tujuannya supaya value Merpati naik agar awal 2008 sahamnya dilepas kepada investor swasta lewat private placement .
Tahun 2004-2006, kami mengalami periode yang sulit. Namun tahun ini semakin membaik. Tahun 1996, Merpati punya 80 pesawat tapi dengan load factor 56%. Sekarang, jumlah pesawat hanya 27, justru hingga Juli load factor kami menjadi 80%.

Apa lagi yang Anda lakukan untuk menyehatkan Merpati?
Kami juga membuat kebijakan pengurangan orang. Tahun 2002, karyawan Merpati berjumlah 4.200 orang, per hari ini 2.600 orang, dan akhir tahun target kami 2.000 orang. Rasio pesawat dan orang hingga sekarang juga semakin membaik. Walau dulu kami punya banyak pesawat tapi orang juga banyak. Tapi sekarang relatif membaik. Yang penting Merpati sustainable.

Sekarang ini masih dalam tahap restrukturisasi. Apakah sudah ada bayangan investor yang masuk?
Belum. Restrukturisasi masih menjadi pekerjaan rumah kami. Sebab, di mata investor masih banyak airline lain. Jadi, nggak bisa kami melihat diri sendiri. Sebab, investor mempertimbangkan potensi tiap airline. Selain itu, pemodal juga melihat apakah di airline itu ada masalah atau tidak. Kalau soal pesawat, justru itu yang akan mereka investasikan.

Pemerintah selalu menyatakan bahwa privatisasi baru dilakukan setelah profitisasi. Merpati masih dalam tahap restrukturisasi dan akan langsung mengundang pemodal?
Profitisasi sangat penting agar value perusahaan meningkat. Karena itu, kami melakukan restrukturisasi bersamaan dengan profitisasi. Alasannya, kami bersaing dengan airline lain untuk menarik investor. Kami khawatir kalau telat, value bisa turun.

Sekarang ini bagaimana gambaran kinerja keuangannya?
Tahun 2006 memang masih rugi, tapi lebih rendah daripada 2005-2006. Jadi, 2007 ini target kami positif dan semakin meningkat di tahun selanjutnya.

Tahun depan, Merpati akan menjual 40% lewat pasar modal atau langkah lain?
Melalui tender dulu. Private placement. Baru setelah itu go public, sekitar dua-tiga tahun dari sekarang. Pada akhirnya pemerintah minoritas.

Bagaimana Merpati menerapkan tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan?
Kalau soal safety factor, sepanjang 5-6 tahun belakangan ini kami zero accident sehingga per Juli 2007 premi asuransi kami semakin turun. Padahal, Indonesia di­-penalty oleh dunia internasional. Walaupun demikian, internasional menilai track record Merpati lebih baik. Jadi, dibandingkan tahun lalu premi asuransi kami turun 9%. Padahal, airline lain naik. Market share kami juga turun. Kalau tahun 2000, masih 35%-40%. Sekarang hanya 8%. Akhir tahun target kami 10%.

Apa solusi mengatasi kesulitan Merpati?
Legacy airline atau BUMN kami sedang mengalami keberatan. Solusinya tidak ada jalan lain mengurangi fixed cost, kreatif dengan maksimalisasi load factor, dan produktivitas. Misal, kinerja pesawat dinaikkan menjadi 12 jam dari 8 jam, ground juga dikurangi dari 1 jam menjadi 30 menit. Selain itu, untuk menutupi biaya, kami mengurangi kepemilikan gedung ini hanya 50%, dan banyak kantor juga kami tutup.
Walaupun demikian, fungsi Merpati tetap jadi jembatan Nusantara, menguatkan penerbangan di wilayah timur Indonesia. Bagaimana setiap orang di bagian barat Indonesia kalau mau ke bagian timur yang terpikir adalah menggunakan Merpati. Kalau mau lihat ufuk timur, ingat Merpati.

Memang di wilayah Barat kenapa? Pasar sudah jenuh atau sudah banyak diambil maskapai lain?
Memang pasar di Barat density tinggi, yield rendah. Sebaliknya di timur density rendah yield tinggi. Di barat, persaingan juga tinggi. Jadi, pada hari yang tidak penuh, harga juga bisa rendah. Misal untuk penerbangan Jakarta-Medan kalau sepi bisa Rp 350 ribu- Rp 400 ribu. Kalau weekend bisa Rp 1,2 juta. Jadi, ada prinsip supply demand. Itu tergantung pasar.
Kalau ke timur, tarif tidak tinggi. Masih ada faktor loyalty. Misalnya di Nusatenggara, kami kerja sama dengan Pemda Sumba.

Merpati menggandeng pemerintah daerah (pemda) untuk mengembangakan bisnis. Apa yang dilakukan Pemda?
Pemda mendanai pesawat kami (Fokker-100) yang sedang grounded. Investasi di-engine. Setelah terbang, bagi hasil. Setiap bulan, beberapa persen jadi pendapatan asli daerah (PAD) pemda. Selain itu, pemda juga mendapat pelayanan. Jadi, selain mereka dilayani pesawat mereka juga dapat PAD.
Bahkan, Pemda Merauke lebih berani. Pemdanya membeli pesawat Boeing 737- 300. Dan, penghasilan tiap bulan menjadi PAD mereka. Sistem revenue sharing lebih bermanfaat. Beda dengan profit sharing. Kalau profit sharing bisa ada despute. *

Tidak ada komentar: