Minggu, 29 Juli 2007

Industri Telekomunikasi Indonesia 2004-2007, Catatan Jurnalis




INDUSTRI telekomunikasi Indonesia terus bergerak dinamis. Besarnya dana investasi maupun ekspansi yang digelontorkan operator telekomunikasi pada setiap tahunnya cukup besar. Jumlahnya bisa mencapai US$ 2 miliar hingga US$ 4 miliar. Maklum, investor di belakang para operator adalah pemodal-pemodal raksasa dari negeri jiran bahkan jauh dari seberang seperti Hutchison Hong Kong yang masuk ke Hutchison CP Telecomunication Indonesia. Hutchison sudah merambah ke seluruh benua. Demikian pula dengan Singtel dan ST Telemedia, keduanya dari Singapura. Singtel menguasai 35% saham PT Telkomsel, sedangkan ST Telemedia mencengkeram sekitar 42% saham PT Indosat Tbk. Belum lagi Maxis Malaysia yang menguasai sekitar 98% saham Natrindo Telepon Seluler, serta Telekom Malaysia yang menguasai sekitar 59% saham PT Excelcomindo Pratama Tbk.
Wajar jika pasar telekomunikasi Indonesia menjadi incaran investor asing. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara. Sedangkan di Asia pasar Indonesia nomor dua setelah Cina. Di sisi lain, geografis Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau besar dan kecil, membutuhkan teknologi telekomunikasi yang beragam. Teknologi seluler global system for mobile telecomunications (GSM) menjadi primadona sejak 10 tahun terakhir. Wajah persaingan dan derasnya investasi asing disoroti dalam buku Industri Telekomunikasi Indonesia 2004-2007, Catatan Jurnalis yang ditulis Edo Rusyanto yang merupakan wartawan Investor Daily itu. Halaman 43 hingga 57 buku yang diterbitkan Mei 2007 itu berisi soal persaingan investor asing, buku ini juga mencatat deru persaingan layanan seluler generasi ketiga (third generation/3G). Untuk pertamakali 3G diperkenalkan oleh PT Telkomsel (halaman 64-75). Belakangan, Excelcomindo, Indosat, dan Hutchison ikut meramaikan persaingan 3G yang memungkinkan konsumen berkomunikasi tatap muka via telepon selulernya. Konsumen seluler yang hingga akhir 2006 mencapai sekitar 60 juta termanjakan oleh 3G.
Di sisi lain, buku yang merupakan himpunan tulisan sepanjang 2004 hingga awal 2007 itu mencatat sejarah perkembangan layanan fixed wireless access (FWA) alias telepon tetap bermobilitas terbatas (halaman 111-119). Bagaimana panasnya persaingan FWA berteknologi code division multiple access (CDMA) tersebut diuraikan secara lugas oleh penulis. Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar dalam kata pengantar di buku ini menilai, hal itu memungkinkan karena penulis kesehariannya berkutat dengan pemberitaan bidang telekomunikasi.(halaman viii). Ia juga menilai, meskipun penulis telah mencoba menyampaikan pikiran secara kritis dan analitikal, Basuki mencatat adanya nuansa praktikal dalam buku ini. Hal demikian tentu dapat dimengerti karena sebagian besar waktu penulis dihabiskan untuk tugas-tugas reportase di lapangan. Ketersediaan informasi langsung dari nara sumber maupun media on-line untuk mendukung argumentasi-argumentasi yang ingin dilontarkan barangkali merupakan keuntungan tersendiri yang dihadapi penulis. Walaupun demikian, Dirjen Postel menilai esensi jurnalistik dan kontemporer ini tetap menjadi branding tersendiri di tengah hutan belantara referensi telekomunikasi yang lebih banyak teknis.
Selain mencatat sejarah seluler dan FWA, buku ini juga mencatat dengan cermat sejarah telekomunikasi di Tanah Air. Salah satunya adalah persoalan kewajiban registrasi data diri pengguna konsumen seluler prabayar. (halaman 15). Porak porandanya infrastruktur telekomunikasi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akibat badai tsunami 26 Desember 2004 dan proses recovery jaringan telepon kabel dan seluler dicatat dengan apik di halaman 125-129. Peristiwa yang menelan ratusan ribu jiwa itu meruntuhkan jaringan telekomunikasi. Di sektor telekomunikasi, para operator mendapat pelajaran sangat berharga. Khsusunya dalam menata jaringan dan membuat sistem cadangan energi bagi menara dan sentral telepon otomat.
Kelengkapan catatan Edo Rusyanto di buku ini terasa sekali saat penulis menyajikan sejarah pembukaan monopoli persaingan bisnis sambungan langsung internasional (SLI). Layanan yang semula hanya dikuasai Indosat kini harus berbagi dengan PT Telkom Tbk. (halaman 2 – 8).
Buku yang dicetak pertamakali pada Mei 2007 itu, menurut Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Johnny Swandi Sjam, cukup kritis dan mendalam. Media dan seorang wartawan tidak hanya sekadar menuliskan informasi tentang beragamnya layanan informasi, perkembangan teknologi terbaru serta program layanan operator. Namun, juga dapat memberikan input terhadap aturan yang berlaku serta mengkritisi aturan yang ada. * * *

Tidak ada komentar: